My Coldest CEO

29| Regretted Azrell



29| Regretted Azrell

0"Ah sial aku melupakan sesuatu di rumah lama ku,"     

Baru pulang dari salah satu restoran cukup terkenal di London ini, Azrell menepuk keningnya kala mengingat ada hal yang tertinggal di sana. Kini, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dan ya, ia sangat tahu kalau di jam-jam segini Felia sedang asyik menonton televisi Hollywood.     

Tidak memiliki teman kencan membuat dirinya bebas bergerak kesana-kemari tanpa harus menghubungi seseorang tentang lokasi keberadaannya. Ia sedang berada di dalam mobil, sambil memutar lagu Ariana Grande yang memiliki pita suara sangat pecah dan mempesona --apalagi kalau menyanyi dengan nada tinggi, tidak perlu diragukan lagi pesonanya--.     

Sambil bersenandung kecil, ia membelokkan mobilnya ke arah berlainan dari rumah utama.     

"Felia udah makan belum ya? tapi kalau mampir ke tempat makan lagi aku malas menepi," gumamnya.     

Memutuskan untuk tetap melajukan mobil, ia akhirnya sudah memasuki pekarangan rumah dengan jejeran bangunan yang terlihat cukup mewah dan terawat.     

Melihat salah satu rumah yang menjadi tempat berlindung beberapa tahun yang lalu, ia langsung saja memasuki halaman rumah tersebut. Kedua matanya memicing kala melihat mobil sport mahal di sana, apalagi terlihat berkilat seperti baru di beli.     

"Loh? Daddy beli mobil lagi? menyebalkan, giliran diri ku saja tidak diperbolehkan untuk menggantinya." gumamnya sambil mendengus sebal. Ia menghentikan mobil yang tengah di kendarai, tepat di sebelah mobil tersebut.     

Melepaskan seat belt dari tubuhnya, lalu segera keluar dari dalam mobil. Ia masih memiliki kegiatan malam yang menunggu. Seperti beredam di bathtub dengan aroma terapi, memakai skincare di permukaan wajahnya yang sudah mulus, dan jangan lupakan perawatan malam seperti pijatan untuk tubuhnya yang terasa pegal-pegal.     

Mulai melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah dan langsung saja di sambut oleh seorang maid yang sedang membawa tumpukan pakaian bersih dan sudah terlipat rapih milik Sam saat laki-laki tersebut memutuskan untuk tinggal di sini menemani kesepian Felia. Bedanya, Sam tetap berada di dalam rumah mewah ini, dan Felia tetap berada di rumah sederhana miliknya.     

"Selamat malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya maid tersebut dengan nada sangat lembut, kesopanan tetap terjaga. Ia menatap Azrell, sang Nona rumah dengan penuh perhatian.     

Azrell menganggukkan kepalanya, ia tidak bisa kalau aroma yang paling disukainya habis dan stoknya terdapat banyak di sini. "Aku ingin aroma terapi, dan bath bomb juga. Yang biasa aku pakai itu, loh kamu tau kan?" ucapnya yang mengatakan maksud kedatangannya ke sini karena ada barang yang ingin ia ambil.     

"Baik Nona, tentu saja saya tau. Silahkan Nona beristirahat terlebih dahulu, sepertinya baru pulang kerja supaya lelahnya menguap."     

"Terimakasih banyak,"     

Setelah berucap seperti itu, Azrell melangkahkan kakinya ke arah sofa ruang tamu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, lalu menatap layarnya untuk melihat jam.     

Menatap sekeliling sudut rumah, ia mencari keberadaan Sam karena mobil sang Daddy ada di halaman rumah ini. Ia mengerutkan keningnya kala tidak mendengar suara apapun karena biasanya pada malam hari seperti ini, Sam gemar duduk di ruang tamu sambil membaca buku biografi dan sudah pasti ditemani dengan secangkir americano yang masih mengepul supaya menghalau udara dingin yang masuk ke dalam sel syaraf tubuhnya.     

"Loh, lagi ke toilet kali ya?" tanyanya karena tidak menemukan sosok yang di cari. Memang seperti ini, ia jarang bertemu dengan Sam karena jam kerja dan jam istirahat mereka bertentang. Jadi tidak bisa bercengkrama layaknya sang putri dan ayahnya, anggap saja takdir.     

"Non, ini yang Non minta."     

Ucapan seorang wanita yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Azrell membuat dirinya sedikit tersentak, ia melihat maid yang tadi disuruhnya sudah datang dengan paper bag di tangan. "Terimakasih banyak," ucapnya sambil meraih paper bag tersebut dan melihat isinya.     

"Perfect," gumamnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang manis. Berendam di bathtub tanpa bath bomb sebagai penghias.     

Ia menatap kembali ke arah maid tersebut. "Daddy dimana? aku ingin bertemu dengan dirinya." ucapnya dengan senyum merekah. Sudah lama tidak menubruk tubuh sang Daddy dengan sekuat tenaga sambil memeluk laki-laki parah baya itu dengan sangat erat.     

Seberapa dekat Azrell dengan Sam? yang jelas Daddy-nya itu selalu menyikapi Azrell dengan penuh kasih sayang, tanpa batasan.     

Wajah maid tersebut tampak kebingungan, bahkan kini kedua alisnya terlihat berkerut. "Tuan Sam? dia tidak ada disini sejak kemarin, katanya ada urusan dengan Nyonya besar dan saya juga tidak ingin bertanya dengan lancang mengenai alasannya." ucapnya, menjelaskan apa yang ia tahu karena memang dua hari lalu Sam mengatakan hal itu pada dirinya.     

Azrell menaikkan sebelah alisnya, merasa lebih kebingungan daripada sang maid. "Kalau begitu? yang di halaman rumah mobil siapa? tidak mungkin itu mobil tetangga, karena mustahil." ucapnya yang akhirnya bersuara.     

"Untuk hal itu, saya tidak tahu Nona. Tadi ada seorang laki-laki menghampiri Felia ke rumahnya di halaman belakang sana," jawab maid tersebut. Kedua tangannya masih terkepal satu sama lain, memperlihatkan pose sangat sopan. Berbicara dengan Azrell adalah hal yang cukup menyenangkan karena wanita ini sama sekali tidak kaku dan mudah diajak berbicara, dalam artian ramah.     

'Felia? apa dia punya kekasih? tapi kenapa tidak memberitahu diriku, ih menyebalkan! pasti karena tidak mau dimintain pajak jadian, huh.' batin Azrell menggerutu sebal karena Felia tidak bercerita tentang laki-laki yang berkunjung itu.     

Beranjak dari duduknya, ia memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya kembali. "Yasudah aku permisi dulu mau ke Felia, bye." ucapnya sambil memberikan senyuman manis.     

Dengan perlahan, ia melangkah kakinya yang dialasi high heels sekitar 5 cm karena itu standar bekerja di kantoran. Ia menuju ke halaman belakang dengan pintu belakang, tidak perlu repot-repot keluar terlebih dahulu dan mengelilingi rumah untuk sampai di sana.     

Setelah sampai, ia menatap pintu rumah tersebut. Tangannya yang masih menggenggam paper bag mulai melayang untuk mengetuknya.     

"Felia, ini Azrell! Apa kau di dalam? ku yakin ia karena ada seseorang yang bersama mu di dalam sana, iya kan?!" serunya yang sangat bersemangat.     

Bahkan, senyuman lebarnya tidak pernah luntur dari wajah yang tercetak sangat cantik itu. Ia tidak sabar berkenalan dengan laki-laki yang sudah pasti adalah kekasih dari teman dekatnya itu, ia akan menceraikan segala kebaikan Felia yang sudah pasti membuat sang laki-laki merasa beruntung memiliki wanita tersebut.     

Selama ini, ia tidal pernah melihat Felia bergandeng mesra dengan laki-laki lain. Tapi sekalinya hal itu terwujud yang tepatnya pada hari ini, ia merasa takjub karena langsung di bawa ke rumah.     

Menggigit sedikit bibir bawahnya karena Felia tidak kunjung membuka pintu, ia akhirnya mengetuk untuk yang kedua kali.     

Tok     

Tok     

Tok     

Sudah pasti ia akan mendukung mereka!     

Ceklek     

"Hei, Fe. Ayo kenalk--"     

Sorot mata Azrell turun karena melihat seorang laki-laki bertubuh tegak sudah berdiri tepat di hadapannya, tangan yang melayang di udara kian menurun bersamaan dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di permukaan wajahnya. Yang tadinya ia bernapas dengan irama tenang, kini tiba-tiba menjadi nail turun menahan sesak yang mulai menyeruak ke hatinya.     

"L-Leo..?"     

Ya, suara serak yang tercekat tepat di ujung tenggorokannya sudah menjadi bukti kalau hatinya kini benar-benar hancur. Apa yang ia berusaha tepis, tapi ternyata memang sebuah kenyataan yang sebelumnya sudah berada di benaknya. Ia menatap Leo dengan sorot tidak percaya, bahkan kini lidahnya terasa kelu.     

"Hai," sapa Leo sambil memberikan dirinya sebuah senyuman yang tipis.     

Hanya sapaan 'hai', tapi berdampak besar bagi hati Azrell. Tidak, bukan karena dirinya senang di sapa oleh laki-laki yang masih menjadi tujuan hatinya berlabuh. Tapi dirinya begitu sakit karena tahu kalau 'wanita' yang di maksud Leo siang tadi adalah Felia, seseorang yang ia sudah anggap seperti adik sendiri.     

Ternyata benar. Luka terdalam itu berasal dari seseorang yang kita sayangi, bahkan pengkhianatan terasa lebih menyakitkan daripada perpisahan cinta.     

"Kok kamu bisa ada di sini?" Entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu lah yang keluar dari mulut Azrell. Nada suaranya sudah bergetar, apalagi kedua bola matanya sudah siap meluncurkan kristal bening.     

Leo menganggukkan kepalanya, seolah-olah ini bukan masalah yang besar bagi dirinya.     

Kalau seseorang sudah tidak memiliki hubungan dengan orang tersebut, sudah jelas kebebasan kembali terambil alih.     

"Iya, saya di sini sedang makan malam dengan wanita saya." jawab Leo dengan wajah yang kini sudah sedikit menegang karena di benaknya sudah menebak kalau setelah ini pasti ada adu mulut untuk yang kesekian kalinya membahas suatu hal sama karena sebuah kecerobohan.     

Tunggu sebentar, 'wanita saya'? HEI, DULU ITU ADALAH PREDIKAT LEO UNTUK AZRELL!     

"Kenapa harus Felia, Leo?" tanya Azrell dengan sorot mata yang sudah sendu. Ia menatap Leo seolah-olah akan mendapatkan jawaban yang sangat rinci dari laki-laki tersebut. Bahkan kalau bisa, ia ingin diceritakan bagaimana pertemuan mereka berdua dan berakhir dirinya ingin berdecih di hadapan Leo.     

Leo menatap Azrell, ia tahu kalau mungkin hal ini menyakitkan. "Siapa yang meninggalkan, siapa yang merasa tersakiti? memang tabiat wanita selalu ingin menang dan mendapatkan kepuasan, huh?" tanyanya dengan nada tenang, tapi tentu saja menghujam ulu hati Azrell.     

"Tapi setidaknya kamu harus menghargai aku sebagai mantan kekasih yang masih mencintai kamu, Leo! Belum lagi Felia adalah orang terdekat yang aku miliki, kenapa dia mengkhianati diri ku..?"     

"Memangnya wanita itu tahu kalau kita berpacaran? Apa kamu pernah mengenalkan saya dengan Felia? Dan apa dengan seluruh pekerjaan yang menumpuk setiap harinya tanpa ada kata libur kecuali di malam hari, Felia bisa membuka sosial media untuk mengetahui kehidupan mu, begitu?"     

Kebanyakan memang seperti itu, manusia tidak pernah menyadari hal apa yang di buang seenaknya. Berakhir penyesalan dan ingin memilikinya lagi.     

"Tapi, Leo... aku masih mencintaimu. Apa tidak ada yang lebih baik selain kesempatan kedua?"     

"Tidak ada, Azrell. Akui saja kesalahan mu. Kalau kamu menginginkan laki-laki yang selalu memberikan kabar kepada mu, berpacaran saja sana dengan laki-laki pengangguran."     

Menarik napasnya, Azrell menatap Leo dengan kedua bola mata yang sudah sangat berair. "Iya, aku. Semuanya memang salah aku Leo, tapi kamu gak boleh jahat sama aku!" seru Azrell. Ia menjatuhkan paper bag di tangannya lalu mendekatkan tubuh pada Leo, lalu langsung saja memukuli dada bidang yang tercetak jelas body yang six pack.     

Tangisan Azrell pecah. Dalam seharian ini, ia sudah menangis dua kali dalam durasi yang tidak bisa di anggap cepat. Dan lagi, pada malam ini ia harus merasakan penyesalan akibat keputusan yang diambil saat kepala panas. Dengan ganas, ia masih memukuli Leo, menyalurkan emosinya.     

"KENAPA HARUS FELIA, LEO? JAWAB! LAKI-LAKI BRENGSEK, TIDAK MEMILIKI HATI!"     

Entah disini Leo atau Azrell yang salah, tapi keduanya memiliki ego yang tinggi untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi.     

Azrell yang masih stay dan mempersiapkan hati untuk Leo seakan-akan laki-laki tersebut akan kembali ke hidupnya, dan Leo yang sebenarnya cukup nyaman dengan Azrell namun diputuskan begitu saja serta memiliki pengganti yang jauh lebih baik dan sederhana dalam waktu sangat singkat sejak kandasnya hubungan mereka.     

"Kalau boleh memilih, dari awal sebaiknya saya lebih baik bertemu dengan Felia dari pada dengan kamu, Azrell."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.